top of page

Live In Margaluyu

  • Writer: Retno Dammayatri
    Retno Dammayatri
  • Sep 27, 2019
  • 2 min read

​Tiga hari dua malam yang lalu memberi pengalaman baru dan sangat berharga bagi saya. Melakukan live in di desa merupakan salah satu cita-cita kecil saya yang baru saja tercapai. Desa Margaluyu merupakan desa yang terletak di ujung Bandung Barat. Akses ke Desa ini sangat susah, harus melewati TPS yang sangat panjang dan berbau tidak sedap, jalanan sempit, menanjak dan rusak, berdebu dan sebagainya.


Saya tinggal di rumah ibu Ani, umurnya kira-kira lebih dari 50 tahun. Beliau tinggal sendiri karena seluruh anak-anaknya telah berkeluarga. Jika boleh mendeskripsikan rumah bu Ani sangat sederhana namun nyaman dengan sebuah warung kecil dipojok rumah. Namun yang sedikit menjadi masalah bagi saya adalah kamar mandinya hehe. Kamar mandinya memiliki bak yang sangat besar dan tinggi setinggi dada, namun airnya lumayan keruh pada bagian tengah bawah dan itu membuat saya berasumsi apa yang ada di dalam sana.


Foto warung Ibu Ani

Mata pencaharian beliau adalah sebagai pedagang gorengan dan baslup (red: bakso celup) keliling. Bu Ani mulai menggoreng dagangannya pukul 3 pagi dan sudah berkeliling desa menjajakan dagangan pada pukul setengah 6 pagi. Pagi-pagi saya membantu bu Ani menggoreng pisang diwarung, hari-hari saya selalu sarapan pisang goreng hahaha. Fyi harga pisang didesa ini sangatlah murah hanya Rp2000/kg harga pisang gorengpun masih Rp.500/pisang sangat berbeda sekali jika dibandingkan dengan di Bandung.

Selain mengikuti kegiatan Ibu Ani saya juga menjadi petani petani kunyit nih. Bertani/berkebun sangatlah menyenangkan sehingga saya memutuskan jikalau sudah tua dan sukses nanti saya akan tinggal didesa dan berkebun bersama HAHA.


Potret menjadi petani kunyit

Jika dilihat-lihat pose kami cukup proper ya, tapi memang memanen seperti ini memang asik sekali tapi sayangnya kunyit yang telah dicabut dan dibersihkan dengan susah payah harganya hanya Rp. 1000/kg. Jadi untuk kalian kallau beli rempah-rempah dipasar tradisional jangan ditawar yaa karena prosesnya susah.


Sudah didesa Margaluyu tidak lengkap rasanya kalo tidak pergi kesungai Pak Obing (red: Sungai Cirata) walaupun penuh eceng gondok dan perahunya goyang-goyang tapi lumayan lah rasanya udah mendekati kaya berlayar di situ patenggang. Fyi lagi muter-muter sungai ini pake perahu juga murah cuma Rp.3000 dan kalian akan merasakan sensasi tersangkut diantara eceng gondok.


Lalu, ini adalah bagian yang paling saya suka yaitu bermain bersama anak-anak. Walaupun awalnya malu-malu 'Dicaketan sok nebihan, ditebihan malah milarian' tapi pada akhirnya mereka mau juga bermain dengan kami semua.


Perpisahan memang selalu menyedihkan, kami mendapat perpisahan yang manis dari adik-adik dengan lampaian tangannya dari kejauhan, dan teruntuk ibu Ani saya cukup kaget saat ibu ini menitikan air mata saat kami berpamitan. Beliau memeluk dan menciumku matanya memerah dan sedikit berlinang air mata. Saat truk tentara melewati rumah bu Ani tiba-tiba ibu mengejar truk tentara, saya kira ada barang yang tertinggal ternyata beliau hanya ingin memberikan sekantong plastik gorengan yang dijual diwarungnya. Ibu Ani sungguh membuatku terharu dan sedih, lambaian tangan tidak berhenti sampai bayangan hilang. Sampai jumpa lagi bu dilain kesempatan terimakasih sudah menampung kami yang tidak bisa berbahasa sunda ini, terimakasih pisang gorengnya disetiap pagi hari :'(.


Foto bersama Ibu Ani didepan Warung.

Comments


©2019 by dammayatri. Proudly created with Wix.com

bottom of page